Friday, December 28, 2007

SELAMAT TAHUN BARU 2008

Saya mengucapkan Selamat Tahun Baru 2008.
Semoga Indonesia kita semakin baik ...Amiin.

Salam,
Bagja

Gara-gara Salah Naik Kereta

Pakuan Express terakhir jam 19:20 dari Stasiun Tanahabang. Beberapa email terakhir mengenai kerjaan kantor sudah dibalas. Paperwork yang harus di-sign sudah ditandatangan semua. Cuma satu yang belum, he..he..he, tapi ini bukan kerjaan kantor (silent mode on...swiiiing kabuuur). Yakni: dari pagi searching tentang fotografi, tapi belum ketemu yang bagus. Maklum sedang kepincut "Mat Jepret". Sudah seminggu beli camdig semipro Fuji FS5700, tapi masih disetel "Auto" terus. Sekali-kali ingin bisa moto, setidaknya buat kepuasan sendiri untuk bisa setting manual.

Di menit terakhir menuju jam 7, akhirnya ketemu tulisan yang cukup mendasar tentang teori fotografi dari situsnya para pakar foto di fotografer.net. Kalau dibaca dari komputer pasti bakalan ketinggalan kereta. Belum lagi harus memahami tulisannya. Melirik sebentar ke status printer kepunyaan sekretaris, ternyata statusnya masih aktif. Kalau diprint pun pastilah cepat karena hanya sekitar 10 halaman. Sambil beres-beres meja dan menuju mesin absen yang dekat printer bisa sekalian cao pulang dan mencegat ojek ke stasiun Tanahabang. Tulisan itu bisa sambil dibaca di kereta. Itupun kalau bisa mengalahkan godaan sakit bawaan saat ketemu posisi enak (alias ngerek bin ngiler).

Saat sampai di stasiun sudah terdengar pemberitahuan bahwa kereta Bojong Express baru masuk Tanahabang. Daripada menunggu Pakuan Express yang belum tiba dari Serpong, kayaknya saya naik Bojong Express aja deh. Tinggal menyambung kereta ke Bogor di stasiun Bojong. Sambil tangan memegang hasil print tulisan tentang fotografi dan sesekali membacanya berlari-lari menuju jalur 5 tempat biasa kereta express Bogor mangkal. Still yakin, tanpa tanya-tanya saya duduk di bangku kereta yang kelihatannya rada kosong. Mungkin kalangan pekerja komuter yang kerja di Jakarta dan bertempat tinggal di Bogor belum normal masuk kerja. Jadi terlihat agak sepi.

Tidak berapa lama kemudian kereta berjalan. Saya makin asyik baca. Coba lirik-lirik kanan dan kiri mencari siapa tahu ada teman yang saya kenal yang sama-sama naik kereta. Tapi penumpang di gerbong yang saya naiki sama sekali tidak ada wajah yang familiar saya kenal. Biasanya pasti ada satu atau dua orang, sekurangnya saya kenal muka tampang orang Bogor. Kali ini tidak satupun.

Mulai merasa ragu, ini kereta apa? Coba saya lihat ke jendela untuk memastikan jalur kereta menuju Bogor. Kereta menuju Bogor dari Stasiun Tanahabang akan terlebih dahulu singgah di Stasiun Dukuh Atas atau Stasiun Sudirman. Tapi, saya tidak kenal jalur saat itu. Apa karena gelap jadi tidak bisa melihat jelas dari jendela?

Sesaat kemudian kereta agak perlahan dan akhirnya berhenti serta pintu terbuka. Pasti ini harusnya Stasiun Dukuh Atas. Masih penasaran karena saya pun tidak mengenali keadaan stasiun itu, saya berdiri di pintu yang terbuka untuk memastikan dan mencari tulisan Stasiun Dukuh Atas. Mungkin melihat saya di pintu kereta dan terlihat bingung karena tidak melihat tulisan nama stasiun, tukang dagang di peron stasiun berteriak "Stasiun Palmerah ini, Pak". Ahhh wakadalah... salah kereta nih. Seumur-umur naik kereta, dari kuliah sampai kerja memang memilih lokasi yang dekat kereta, belum pernah salah naik kereta. Tidak pikir panjang langsung loncat keluar dari kereta.

Bertanya apa kereta Express ke Bogor dari Serpong berhenti di Palmerah ke petugas yang jaga di pintu St.Palmerah cuma dijawab satu kata "nggak" sambil wajah masang tampang asem. Coba lagi bertanya ke petugas yang ada di loket. Ah..lumayan nih, rada ramah. Dia bilang sudah tidak ada. Cuma nanti jam 20:15 ada Kereta Ekonomi ke St.Tanahabang. Dan disarankannya agar menunggu di peron 2 di sebrang. "Terima Kasih, Pak," balas saya juga dengan senyum ramah.

Ada niat untuk naik bis, cuma saya belum jelas posisi St.Palmerah. Feeling sih merasa lokasi pasti tidak begitu jauh dari perempatan Slipi. Tapi karena gelap, saya tidak dapat memastikan lokasinya. Seharusnya pasti tidak beberapa jauh juga dari Gedung MPR. Tapi, mencari-cari pucuk gedung milik rakyat tidak terlihat. Kalau terlihat gedung itu, saya bisa yakin ke Slipi pasti tidak beberapa jauh.

Tadinya mau bertanya ke orang-orang di sekitar stasiun, tapi niat ini saya urungkan. Saya perhatikan di sekitaran stasiun banyak perempuan bersolek menor. Bibir merah nora. Bedak tebal. Alis jabrik. Baju tabrak warna. Bau parfum menyengat hidung. Padahal kalau di perhatikan mereka seusia dengan ibu saya. Benar-benar mereka perempuan dengan rasa PD yang sangat besar.

Saya memilih tempat duduk di peron 2 untuk menunggu kereta yang kembali ke St.Tanabang. Kalangan komuter penikmat kereta pasti lah tahu tempat duduk tahan rayap yang jadi ciri khas di setiap stasiun kereta di Indonesia. Yakni tempat duduk dari rel kereta. Azas manfaat yang perlu di tiru, kalau dilihat dari sisi pemanfaatan barang yang tidak berguna. Tapi, buat tuan raja sebagai konsumen perkeretaapian pastilah ada rasa-rasa nyelekit di bagian tubuh sebelah bawah alias pantat. Apalagi buat saya yang tepos kayak gini. Belum lagi ditambah kalau punya penyakit wasir. Bisa jadi neraka tuh.

Duduk di pojokan dua wanita mengapit seorang laki-laki bertampang dekil tanpa sandal dan bercelana pendek. Kedengaran obrolan mereka :
Lelaki (sambil merokok kretek berasap tebal) : "Dari mane aje luh Nah, makin cakep aja kayak sopia lajuba".
.....dandanan menor dan seumuran dengan nenek pemain lenong Mpok Nori bisa-bisanya dibilang kayak Sofia Latjuba...dalam hati saya sambil mpot-mpotan mempelajari situasi takut-takut ada yang akan mengganggu keamanan diri saya.
Perempuan yang di panggil Nah menjawab, "Ade aje, Bang. Lagi sepi nih. Kemaren, libur natal, gue cuma dapet jigow (red.Rp 25.000)".
"Lumayan itu mah, nah gue kagak dapet ape-ape. Malah ngutang rokok deh. Tekor..," perempuan yang satu lagi ikut nimbrung.

Astagfirullah, selintas cahaya loket stasiun menerpa wajah perempuan yang barusan ikut nimbrung. Raut wajahnya jadi terlihat oleh saya. (Maaf) dia seorang tuna netra dengan wajah penuh bekas-bekas penyakit cacar.

Dimana muka ku...Indonesia
Apa warna hati ku ...Indonesia
Merah kah ..atau Putih kah???
atau Byaarrrr!!! (Biarin aje)
Tempat ini dekat gedung tuan-tuan terhormat yang menyuarakan suara rakyat. Di jalan raya seberang stasiun adalah jalan belakang ke gedung kubah hijau. Mobil dinas pastilah tiap hari melintasi jalan itu dan melihat fragmen kehidupan pinggiran rel.

Suara kereta datang membuyarkan lamunan tentang negeri idaman. Sosoknya dari jauh seperti kereta jawa dengan loko diesel. Benar saja, sebuah kereta diesel. Terlihat saat loko (kepala kereta) melintas di depan saya. Tapi, setelah rangkaian gerbong di belakangnya melintas, bukan gerbong penumpang. Rupanya kereta batu bara, dengan gerbong bak-bak terbuka.

Mengingat saya harus buru-buru untuk mengejar kereta terakhir jam 9 ke Bogor di Stasiun Juanda, saya nekad loncat ke atas kereta batu bara yang memang berjalan pelan sekali. Daripada harus menunggu kereta ekonomi yang belum tentu jam lewatnya dan atmosfir di stasiun Palmerah yang sudah semakin membuat saya serba salah. Kalau kata nyanyian Kupu-kupu Malam nya Titiek Puspa : "Menangis di dalam tawa dan tertawa di dalam tangisan".

Kapan lagi menikmati penderitaan dan merasakan naik kereta batu bara. Berdiri di sambungan antar gerbong. Merasakan terpaan udara Jakarta dengan wangi-wangian tumpukan sampah bercampur hawa sungai berair hitam.

Di gerbong belakang ada pasangan muda-mudi masih berseragam biru putih dan putih abu yang sibuk dengan kemasyukannya, tanpa hirau ada mata yang melihat. Mata batin dan mata dzohir. Tanpa hirau dengan mata yang akan melihat saat ini dan saat neraca perhitungan akan digelar.

Gara-gara salah naik kereta, terkuak wajah-wajah negeri tercinta. Sebuah negeri yang dulu digjaya, dan kini terpuruk menunggu karamnya kapal besar nusantara.










Wednesday, December 19, 2007

Pengalaman Kena Tilang di Perempatan Mayor Oking - Pledang

Sabtu pagi (15 Desember 2007), sekitar jam setengah sepuluh pagi, saya baru pulang kerja. Setelah tidak tidur 2X24 jam di kantor karena ada lembur mengerjakan proyek, seperti biasa turun dari Kereta Pakuan saya mengambil motor di penitipan motor stasiun Bogor. Mata masih terasa sepet. Tadinya ingin tiduran barang sekejap di Kereta Pakuan sepanjang Jakarta - Bogor. Apa daya, di kereta ada bapak-bapak ngajak ngobrol sepanjang jalan dari stasiun Juanda sampai Bogor.
Keluar dari tempat penitipan motor, ke jalan Mayor Oking, meluncur mengikuti jalur pulang ke rumah di Ciomas. Di perempatan Mayor Oking saya mengarahkan motor ke arah kanan menuju Jembatan Merah untuk lurus terus ke Ciomas. Masih dalam keadaan setengah ngantuk berat saya tidak melihat ada beberapa motor yang berbaris di pinggir penjara Pledang. Saya pikir mungkin motor-motor yang sedang parkir biasa. Ada "Pak Ogah" yang mengarahkan kendaraan yang akan menuju ke Pledang dari arah Jembatan Merah. Setelah ada kesempatan menyebrang untuk langsung ke arah kanan, saya dengan santai menjalankan motor. Tidak terlihat oleh saya, beberapa polisi dan DLLAJ dibalik angkot-angkot sedang menyetop motor yang berputar di perempatan. Akhirnya saya ikut diberhentikan.
"Selamat Pagi, Pak", kata Pak Polisi. Saya tidak perhatikan nama Polisi itu, karena saya pikir saya tidak berbuat kesalahan apa-apa. SIM dan STNK lengkap dan masih panjang masa berlakunya. Keadaan motor saya masih lengkap tidak ada yang dikurang-kurangi atau dilebih-lebihkan. Selintas kepikiran, apa saya salah jalan. Tapi, ah ini jalur saya tiap hari dari Ciomas ke Stasiun PP. Akhirnya, sambil saya masih bingung ditambah ngantuk, Pak Polisi menunjuk Plang Tanda Dilarang Berputar yang tertancap di tengah-tengah separator jalan. O, rupanya saya dianggap melanggar Dilarang Berputar.
Karena malas untuk berdebat, saya pasrah terima ditilang. Tapi, sempat saya bilang bahwa biasanya saya memang tiap hari pasti belok dari Jalan Mayor Oking ke Jembatan Merah. Selama ini tidak memperhatikan plang Dilarang Berputar ada disana. Paling banter, kalau ada polisi di perempatan dan jalanan macet parah, kendaraan dari arah Mayor Oking yang akan berbelok ke kanan menuju Jembatan Merah diarahkan oleh polisi ke Jalan Pledang baru kemudian berputar ke Jembatan Merah. Juga sepertinya saya tidak pernah melihat plang Dilarang Berputar di sana. Lagian itu kan plang Dilarang Berputar, padahal saya bukan berputar tapi belok kanan. Yang disebut berputar itu kalau kendaraan dari arah Jembatan Merah ingin berputar kembali ke arah Jembatan Merah. (itu sih saya berdebat juga namanya yah?he..he..). Lantas Pak Polisi bilang:" sama saja pak, tidak boleh berputar itu juga tidak boleh belok kanan". "Ya, wis Pak, tilang aja deh saya. Saya salah, emang ngak merhatiin jalan. Baru pulang lembur. Belum tidur nih Pak", jawab saya.
Akhir saya dibawa ke pos yang berada tepat di huk belokan penjara Pledang. Pos ini terakhir kemaren saya lihat ada tulisan Pos DLLAJ. STNK dan SIM sudah dipegang oleh Pak Polisi. Di dalam sudah ada satu orang polisi yang sedang menilang korban senasib seperti saya. Setelah dipersilahkan duduk, si Pak Polisi sambil seperti berbisik berkata "mau sidang atau mau dibantu Pak ?" Di pikiran saya: "ah dibantu??? dibantu apa nih maksudnya??" Dasar kurang tidur, otak jadi lambat mikir. Masih sempat terlintas di kepala, mungkin dibantu itu adalah dibantu untuk membayarkan denda tilang ke Bank yang terdekat. Seperti yang beberapa kali saya baca dari pengalaman orang yang pernah kena tilang. Mereka membayar denda tilang langsung di Bank, jadi tidak perlu sidang.
Saat itu timbul keingintahuan bagaimana sih suasana sidang pelanggaran lalu lintas. Jadi dengan lantang saya bilang ke Pak Polisi : "sidang aja Pak". Sekali lagi sambil agak berbisik Pak Polisi berkata: "bener nih nggak mau dibantu". Dengan tampang polos, saya menggelengkan kepala. "Nggak, sidang saja Pak" jawab saya.
Sambil seperti kecewa Pak Polisi menyiapkan surat tilang dan berkata:"Baik, Pak Bagja, saudara akan di sidang pada tanggal 20 Desember hari Kamis ini".
Ahhhh 20 Desember..?? itukan Lebaran Haji. Busset dah, orang pada Shalat Ied dan Lebaran Haji, nah gue di sidang di pengadilan. Ogah ah kalo gitu gue minta dibantu aja deh. (di pikiran saya)
"Pak, kok sidangnya tanggal 20, itukan Lebaran Haji, Pak" kata saya.
"Iya, yang lain juga di sidang di tanggal 20 ini" jawab Pak Polisi
"Saya nggak jadi deh, minta dibantu aja, Pak" kata saya
Kelihatan cerah lagi wajah Pak Polisi. "ehm.. kalo sidang, kamu bisa kena 55ribu tuh" katanya.
Summpretttt dari nada bicaranya gue baru ngeh kalo "bisa dibantu" tuh artinya dia minta duit. Gue kasih 20ribu juga aman kali nih. (di pikiran saya).
Saya ingat di kantong jaket ada uang 20ribuan selembar. Uang itu uang kembalian makan malam di kantor. Seingat saya di kantong jaket ada selembar 20ribuan dan selembar 50ribuan. Sengaja saya pisahkan menaruhnya. Di kantong kiri saya simpan yang 20ribuan. Rencananya untuk beli bensin. Di kantong kanan saya simpan 50ribuan.
Dengan merasa sangat menyesal dan tanpa melihat lagi uangnya, uang 20ribuan saya berikan ke Pak Polisi. Senyum sumringah Pak Polisi menyambutnya dan mengucapkan terima kasih serta mempersilahkan saya melanjutkan perjalanan.
Sepanjang perjalanan ke rumah terbayang kelakuan saya tadi. Dosa atau tidak??. Dan masih terus merasa keanehan plang Dilarang Berputar.
Sebelum sampai rumah saya sempatkan membeli bensin di POM Bensin. Saya biasa mengisi bensin Rp 10ribu. Saat membayar, saya ingat masih ada selembar uang 50ribuan di kantong kanan jaket. Lha, kok 20ribuan yang ada di kantong kanan. Wah, jangan-jangan.. walaaahh ketuker nihh sumprettt. Pantas aja tuh polisi langsung sumringah banget.
Besoknya, Senin 17 Desember, pagi-pagi, saat berangkat kerja melewati perempatan itu, saya penasaran untuk melihat plang Dilarang Berputar. Saya sempatkan melirik ke lokasi plang tersebut. Lohhhh kok plangnya kagak ada...Waduh kok bisa begitu?
Setelah kejadian itu, setiap berangkat dan pulang kerja, melewati perempatan selalu saya melirik ke lokasi tempat plang Dilarang Berputar, yaitu di tengah-tengah tembok separator jalan di perempatan itu. Tapi, sampai tulisan ini ditulis, saya tidak melihat lagi ada plang tanda Dilarang Berputar disana. Seperti siluman yang tidak terlihat bekasnya. Begitulah, mungkin salah satu cerminan sebuah Negeri Siluman.

Tuesday, December 4, 2007

Naik Angsa di Situ Gede


Gara-gara dialihkan jalur di Terminal
Bubulak, akhirnya kami "nyasar" ke Situ Gede. Minggu, 2 Des 2007, pagi-pagi kami sudah berniat ke Kampus IPB Darmaga. Kami dengar dari teman bahwa Kampus IPB Darmaga di hari Minggu atau Sabtu ramai pengunjung yang akan berolahraga, berbelanja atau hanya sekedar cuci mata.

Saat sudah melewati pertigaan Pagelaran dan Terminal Laladon, saya melirik indikator bensin Honda Vario yang sudah mengarah ke "Empty". Mumpung dekat dengan POM Bensin di depan Terminal Bubulak, saya arahkan motor ke sana. Setelah mengisi Rp 10.000,- untuk Pertamax yg ternyata sudah naik 500 perak, kapan turun lagi yach?, jadi ingin menjajal jalan ke Kampus lewat Situ Gede atau Cifor. Padahal sudah di depan jalan dekat sekolah SDIT Aliyah, saya putar balik ke arah Situ Gede.


Ditambah lagi di Jalan Raya Cifor terlihat plang menghalangi jalan menuju Situ Gede tanda jalan sedang ditutup karena ada perbaikan jalan. Ada beberapa petugas DLLAJ, Polisi dan beberapa pak ogah yang sedang mengusir mobil untuk tidak melalui jalan tersebut. Bikin penasaran saja, ingin tahu sampai mana perbaikan jalan tersebut.

Sambil lirik kanan kiri, apa ada roda dua yang boleh lewat. Ternyata untuk roda dua, larangan tidak berlaku. Langsung saya pepet jalan ke bahu jalan di pinggir jalan yang sedang diperbaiki sampai ke pertigaan Cifor dan Danau Situ Gede.

Di pertigaan tersebut saya ingin coba ke jalan yang ke kiri. Soalnya, jalan lurus yang menuju Cifor sudah sering dilewati. Begitu juga yang ke kanan menuju Sindang Barang Jero, sudah beberapa kali.

Biasanya saya mengambil jalur lurus melewati Cifor jika ingin ke Danau Situ Gede. Tapi kali ini saya ingin tahu jalan ke kiri, Apakah sampai tembus ke Danau ? Setelah melewati SMP 14 dan jalan yang beraspal dengan banyak polisi tidur ternyata tembus juga ke Danau Situ Gede. Terasa lebih dekat jaraknya dibanding jika melewati Cifor.

Sebenarnya kami tidak akan mampir ke Danau terlebih dahulu. Jadi tinggal lurus ke arah Kampus, tapi terpancing keindahan Situ Gede akhirnya mampir sebentar di Situ. Setelah parkir motor, kami ke tepian danau. Diperhatikan samar-samar di tengah danau, seperti ada perahu kayuh berbentuk ikan dan angsa. Rupanya perahu-perahu tersebut sudah operasional di sana. Kebetulan, anak saya sudah lama ingin naik perahu di Situ Gede, tapi setelah beberapa kali ke Situ Gede selalu saja belum beroperasi.

Cukup dengan Rp 5000,- kami naik perahu berbentuk angsa. Ongkos uang sebesar itu untuk 15 menit. Walau 15 menit, cukup bikin keringat dan pegel-pegel, karena mengayuh perahu seperti mengayuh sepeda berkeliling danau. Kami selusuri pinggir danau, ke ujung danau, dan mengitari pulau buatn di tengah danau. Indah sekali.

Setelah dirasa sudah 15 menit, kami kembali ke lokasi pemberangkatan perahu. Terlihat masih sederhana terminal perahu angsa tersebut. Loket penjualan karcisnya hanya meja kecil dan dijaga oleh seorang ibu sambil berjualan dodol. Mungkin Ibu-ibu PKK sekitar situ yang menitip hasil kerajinan untuk dijual.

Kami menuju termpat parkir motor untuk kembali melanjutkan perjalanan ke Kampus IPB Darmaga, Walau cukup rapih tempat parkirnya, ternyata tidak dipungut uang parkir alias "gratis". Lumayannn he he he

Foto

Latest Headlines

bagja2000

Subscribe Now: google

Add to Google

FeedBurner FeedCount

Subscribe via email

Enter your email address:

Delivered by FeedBurner