Monday, December 29, 2008

1 Muharram 1430H

Malam bertabur mendung
Hujan rintik telah lama turun
Curahan air semakin melebat
Dingin sudah membaalkan saja

Bintang berkelit dari mata harap
Sinarnya hanya berkedip terhalang gelap
Cahya Bulan terus lah tatap asa
Akankah fajar muncul bersama cita?
Atau mentari mengkerutkan takut semakin menjadi

Aku bersujud ikhlas pada hijau rerumputan
Rona merah memang ada bernoktah
Moga tak melayukan sejuknya pepohonan kasih
Kilatan langit bukan untuk mencambuk
Dia lah petunjuk yang berselimut angkuh

Angkara telah membutakan makna
Pahit tak akan hilang dengan menyembunyikan lidah
Doa lah aku pada-Mu Sang Pengendali
Aku pasrah dengan Kehendak-Mu



Wednesday, November 5, 2008

Met Ulang Tahun, Nak

Met ulang tahun, nak
Moga jadi anak yang soleha dan pintar
Sayang mama papa dan adik

Met ulang tahun, nak
Papa ingat 10 tahun lalu,
saat kamu lahir.
Saat itu, negeri ini sedang krisis 98.
Maafkan kedua orangtuamu,
kalau tak mampu beli susu untukmu.

Met ulang tahun, nak
Saat ini, ibu pertiwi dirundung krisis 2008.
Maafkan kedua orangtuamu,
kalau nanti tak dapat beli buku untukmu.

Met ulang tahun, nak
Moga kamu dan anak negeri seusiamu,
pada saatnya nanti dapat membuat negeri
untaian jambrud ini menjadi kilau kemilau
aman, damai, sentosa, sejahtera
gemah ripah loh jinawi

5 November 2008
Doa Papamu,

Bagja
(dan semua papa di negeri ini)

Wednesday, October 15, 2008

Keterbukaan Yang Kebablasan

Awalnya cukup surprise menemukan nama anak saya di mesin pencari "paman google". Seminggu lalu memang sedang iseng searching, bertanya-tanya dalam hati, "ada nama anak saya ngak yah di internet?". "Apa namanya pasaran atau tidak?" Begitu pertanyaan dalam hati, yang mungkin saja salah satu dari narsis atau apalah.

Tak lama, terlihat hasil pencarian "paman google" yang memperlihatkan nama anak saya di salah satu site. Langsung saja saya berpikiran negatif, "lah kok bisa ada yang bernama sama?" Padahal waktu memberi nama, saya sudah yakin tidak bakalan ada.

Untuk memuaskan rasa penasaran itu, langsung saja saya klik hyperlink hasil pencarian di google tersebut. Terpampang informasi nama anak saya, nama sekolahnya, tingkat kelas, dan jenis kelamin. Dan semua informasi itu memang benar informasi tentang anak saya.

Rupanya saya diarahkan ke link http://nisn.jardiknas.org, website milik DEPDIKNAS yang mengurusi Nomor Induk Siswa Nasional. Di site tersebut kita selain mendapat informasi data siswa di seluruh Indonesia dari tingkat SD/MI sampai Perguruan Tinggi, juga bisa melihat informasi tentang sekolah di seluruh Indonesia. Baik sekolah swasta maupun negeri, di kabupaten sampai kotamadya di seluruh Indonesia.

Yang jadi kepikiran oleh saya, setelah rasa surprise hilang, adalah "informasi data siswa tersebut bisa disalahgunakan oleh orang-orang yang berniat buruk". Masalahnya saya sendiri bisa melihat data siswa semua anak-anak tersebut. Dimana sekolahnya, kelas berapa, serta alamat sekolahnya. Berarti semua orang pun akan bisa melihat informasi tentang anak saya juga.

Rupanya malah sebelum saya menemukan site depdiknas tersebut, menurut harian Tempo 15 Oktober 2008, lebih parah lagi. Site tersebut diawal publish di internet telah menginformasikan data siswa sampai dicantumkan alamat rumah dan nama orang tuanya.

Kerahasian informasi keluarga adalah hak privasi. Data-data anggota keluarga, tanggal lahir serta alamat adalah informasi sensitif. Apabila akan dipublikasikan, harus seizin kita. Selain itu, menjadi sangat mudah sekali jika dimanfaatkan oleh orang-orang yang berniat buruk.

Secara teori kriminalitas, atau kata "Bang Napi": "kejahatan terjadi kalau ada niat serta ada kesempatan". Informasi rahasia merupakan juga sebuah kesempatan atau peluang untuk melancarkan suatu niat kejahatan.

Memang ide site depdikbud ini cukup bagus. Dengan terdatanya siswa-siswa di seluruh Indonesia yang valid dan uptodate, saya yakin bisa meminimalisir munculnya kasus-kasus pemalsuan ijazah palsu atau siswa "bodong". Masyarakat menjadi ikut pula mengawasi kebenaran dari data-data siswa.

Kasus-kasus penyalahgunaan data fiktif oleh pihak yang mengambil keuntungan untuk mendapatkan dana juga dapat diawasi oleh masyarakat dengan adanya site DEPDIKBUD ini. Sehingga pihak pemerintah mendapat data riil tentang jumlah siswa suatu sekolah yang telah terverifikasi oleh pihak sekolah serta oleh masyarakat.

Dengan adanya site ini pun dapat diketahui jumlah keseluruhan siswa yang ada di Indonesia secara valid. Sehingga data tersebut dapat dijadikan tolak ukur untuk menganalisa dalam berbagai kebutuhan statistik suatu penelitian yang membutuhkannya.

Ya, disini saya setuju sekali adanya site http://nisn.jardiknas.org. Namun saya tidak setuju kalau informasi detil tentang anak saya dipublikasikan.

Bisa saja untuk menjaga kerahasiaan informasi, maka hanya orang tua murid siswa itu langsung saja yang bisa melihat detil informasi tentang anaknya. Berikan user dan password bagi para orang tua murid lewat jaringan sekolah-sekolah yang ada untuk mengakses ke site ini dan melihat detil informasi tentang anaknya sendiri. Sehingga pula, apabila ada kesalahan data informasi tentang anaknya dapat langsung dikoreksi oleh orang tuanya serta diverifikasi oleh pihak sekolah.

Jika ada pandangan bahwa tidak semua orangtua murid di seluruh Indonesia "melek" internet, jawabannya kenapa tidak diberikan wewenang ke pihak sekolahnya saja yang mengkoreksi. Karena, menurut Koran Tempo, data-data siswa yang diinput di site ini diperoleh dari pihak sekolah.

Yang saya bahas diatas baru dari sisi perolehan data informasi dan masalah kerahasian informasi saja. Belum dari sisi masalah kelemahan teknologi yang digunakan untuk mempublikasikannya di Internet. Apakah sudah dijamin aman dari masalah vulnerable server-server yang menyimpan data-data sensitif tersebut? Apakah ada kemungkinan bisa diakses dan diubah data-data tersebut oleh hacker-hacker di Internet? Itu semua adalah hal-hal yang wajib diperhatikan bagi kita di dunia Internet, sebuah dunia yang "borderless" dan memang sebuah dunia yang maya.

Salam,
Bagja

Monday, October 6, 2008

What Kinda Animal Bailout Is? (oleh: Kodrat Wibowo)

Bailout itu apa sih Kak?[1]

Bailout dalam istilah ekonomi dan keuangan digunakan untuk menjelaskan situasi dimana sebuah entitas yang bangkrut atau hampir bangkrut, seperti perusahaan atau sebuah bank diberikan suatu injeksi dana segar yang likuid, dalam rangka untuk memenuhi kewajiban jangka pendeknya. Seringkali bailout dilakukan oleh pihak pemerintah atau konsorsium beberapa investor yang akan memintaperan kendali pada entitas tersebut sebagai timbal balik untuk dana yang disuntikkan.

Umumnya, bailout adalah respon terhadap adanya kesulitan pada aliran dana jangka pendek, dimana entitas yang mengalami kesulitan dana likuid namun memiliki asset yang cukup, akan disuntikan dana oleh pemerintah atau konsorsium investor untuk “tide it over” hingga masalah keuangan jangka pendek dapat diselesaikan

Bailout untuk perusahaan yang dilakukan oleh pemerintah memanglah kontroversial karena suatu kebangkrutan adalah fenomena yang notabene disebabkan oleh kegagalan bisnis akibat tidak terpenuhi keinginan konsumen dalam mekanisme pasar, karenanya bailout adalah suatu campur tangan pemerintah kedalam mekanisme pasar yang melampaui keinginan konsumen di pasar.– tidak heran usulan Bill Bailout pada sektor pasar modal Amerika Serikat sebesar 700 milyar USD, sebelum disetujui oleh House of Representative sempat ditolak oleh Senat (DPD-nya USA) - Terlebih lagi bila mengingat dana yang digunakan dalam bailout ini dipastikan berasal dari dana pemerintah APBN/APBD yang notabene berasal dari para pembayar pajak yang mengharapkan asas korespondensi tercipta lebih baik dalam hal penerimaan dan alokasi pengeluaran hasil pajak.

Bailout dari pihak pemerintah untuk sebuah entitas usaha/sektor biasanya dilakukan ketika entitas usaha/sektor tersebut dipertimbangkan sangat penting dan menyangkut hajat hidup orang banyak “too big to fail” – dijustifikasi oleh argumen bahwa kegagalan pada beberapa perusahaan akan menimbulkan kemandekan perekonomian yang harus dihindari dan diselesaikan segera dalam jangka pendek.

04/10/08 Semoga Bermanfaat..

Tanggapan: LASKAR PELANGI, SEBUAH WACANA MATINYA PENDIDIKAN (Oleh: Lawang Bagja)

Tanggapan:
Membaca esai saudara Pry terasa gurih!. Mencermati sisi gelap dunia pendidikan kita yang sudah teracuni oleh materialisme yang salah satu produknya yaitu serba instant dan siap saji! percis seperti junkfood yang digandrungi masyarakat kita. Saya sendiri termasuk kecewa dengan sistem yang sudah terlanjur seperti benang kusut. Namun tak ada waktu lagi untuk meratapi tragedi yang sudah berkarat dalam kehidupan kita.
Program link and match yang dikritisi oleh saudara Pry dipandang sebagai lonceng kematian dunia pendidikan kita Ini justru menjadi sebuah paradoks saat dunia industri membutuhkan angkatan tenaga kerja yang terampil. Dimana dunia pendidikanlah yang harus bertanggungjawab mempersiapkan itu semua. Sementara di lapangan sering ditemukan ketidaksesuaian antara latar belakang pendidikan dan kerja yang dilakoni, belum lagi kegagapan para fresh graduate saat berhadapan dengan dunia kerja. Persoalan lainnya muncul saat dunia pendidikan terasa amat mahal dan sangat tidak adil pada mereka yang miskin. Ditambah lagi saat beban hidup semakin terasa berat dan pendidikan adalah lobang jarum yang bisa menyelamatkan keluar dari problema kehidupan yang ada. Maka munculah produk link and match itu tadi. Agar para orangtua yang sudah pusing dengan beban biaya hidup bisa tertolong oleh putra dan putrinya yang mengikuti jalur ini. Paling tidak kemudahan bekerja bisa diraih agar persoalan hidup satu persatu bisa diatasi.
Saya sangat setuju biang pangkal 'kerusakan ini' semua adalah materialisme yang merasuki sendi-sendi kehidupan kita. Jika Saudara Pry menangkap drama matinya pendidikan dengan membaca karya Andrea, saya pribadi justru merasakannya tanpa mampu mengungkapkan seperti apa yang Andrea utarakan. Saya yakin di belakang Andrea ada berjuta anak manusia yang merasakan ketidakadilan yang sama. Lidah kami sudah kelu. Jari-jari kami tidak terampil mengurai perih kehidupan menjadi sebuah cerita best seller. Ingatan kami sudah bertumpuk oleh problematika yang datang tiap hari. Kami menderita amnesia akut! lupa jika kehidupan kami lebih asin dari garam dan lebih pahit dari biji mahoni!.
Bisa dibayangkan oleh saudara Pry, manusia-manusia yang merasakan ketidakadilan ini akhirnya memendam dendam. Mereka terseok mengarungi pendidikan karena dunia pendidikan sedari dulu memang angkuh dan terkesan tidak peduli dengan kesulitan yang mereka hadapi. Manusia dididik agar ia mampu mengatasi persoalan yang ada. Manusia pintar memang banyak, kemudian apakah negara membutuhkannya?. Semakin banyak yang pintar bukankah kebijakan akan banyak dikritisi?.
Soal esai ini, pertanyaan saya adalah seperti apa sebenarnya hubungan ideal yang harus dibangun antara dunia pendidikan dan dunia nyata (industri)?. Apakah dunia pendidikan kita selama ini sudah konsisten menerapkan 3 value (objektif, ilmiah, kebijaksanaan) pada anak didiknya? Saya tidak tahu dari kapan kita harus mengukurnya? sejak Indonesia merdeka? sepengetahuan saya, negara yang sedang carut marut saat ini hasil karya dunia pendidikan saat itu. Soal Andrea, karyanya memang menghibur bagi kami. Paling tidak, ada teman senasib.
Mungkin saudara Pry bisa menambahkan pembanding kapan dunia pendidikan kita berhasil dan konsisten dengan 3 value tadi. Sekedar berbagi, dulu saya terseok kuliah di AKA Bogor. Setiap praktikum dan di materi kuliah yang dibicarakan hanya bagaimana nanti kita bekerja pada juragan pemilik pabrik. Hampir semua pengajar tak henti mencekoki doktrin 'buruh'. Maka jadilah saya seorang buruh! Semua benar-benar terjangkar dalm alam pikiran saya yang menyempit. Bukan berkarya dengan pengetahuan yang ada justru lebih merasa bahagia saat hanya menjadi buruh bulanan.
Howgh!
salam kenal dari buruhmigrant

LASKAR PELANGI, SEBUAH WACANA MATINYA PENDIDIKAN

LASKARPELANGI, SEBUAH WACANA MATINYA PENDIDIKAN

Oleh Pry S.

Mendengar frase `Laskar Pelangi', benak kita tentu akan tertuju pada novel tetralogi karangan Andrea Hirata yang rilis tiga tahun lalu. Cukup tiga tahun saja memang, waktu yang dibutuhkan baginya untuk menjadi best seller di mana-mana, dan untuk dijadikan film oleh sutradara ternama yang kini tengah gencar diputar di berbagai bioskop tanah air.

Cukup tiga tahun saja untuk Andrea Hirata merangkak dari seseorang yang tak dikenal di ranah kesusastraan Indonesia,menjadi penulis muda yang kini jadi perbincangan di mana-mana. Cukup tiga tahun pula baginya untuk menjungkirbalikkan paradigma `pasar sastra' dalam negeri dari pandangan sempit bahwa hanya `sastra ringan ala teenlit' dan `sastra kelamin' yang laku di pasar sastra saat ini.

Suksesnya Laskar Pelangi yang mengangkat kehidupan kaum pinggiran nan miskin dan terlupakan di Pulau Belitong (sekarang Provinsi Bangka Belitung) menjadikan tokoh Ikal, Lintang, Mahar dkk sebagai pahlawan-pahlawan baru menggantikan tokoh `si Cowok Idaman' dalam kebanyakan karya teenlit atau tokoh `Nayla si Trauma Seks'dalam kebanyakan sastra kelamin saat ini. Maka tak heran, bila sejumlah kritikus sastra memandang Laskar Pelangi sebagai fenomena baru, baik di ranah kesusastraan maupun perfilman nasional.

Tapi kawan-kawan pembaca yang budiman, kali ini saya memang tidak hendak mengulang-ulang lagi fakta kesuksesan Laskar Pelangiataupun fakta-fakta lain yang telah kita ketahui bersama seperti di atas tadi. Lewat esai ini, saya lebih tertarik untuk menafsirkan muatan wacana penting nan ironis yang terdapat dalam episode pertama teralogi Laskar Pelangi, yakni mengenai SD Muhammadiyah yang kere, hampir roboh, dan terancam ditutup bila jumlah muridnya kurang dari 10 orang.

Dalam latar kisah sekolah rekaan Andreainilah saya menemukan representasi mengkhawatirkan tentang praktik pendidikan formal di Indonesia yang –menurut hemat saya– kini tengah menuju pada `kematiannya'.

PendidikanYang Mana

Sejatinya, pendidikan formal bertujuan membawa manusia keluar dari kungkungan kebodohan (emansipatoris). Dengan menguasai ilmu pengetahuan secara sistematis, rasional dan bersifat ilmiah, manusia dituntut untuk meninggalkan segala sumber pengetahuan manusia di masa lalu seperti mitos dan tradisi yang tidak rasional dan takhayul.

Maka dengan segala intelektualitas dan pengetahuannya itu, seorang manusia terdidik diharapkan mampu mendapatkan pengetahuan yang lebih baik tentang dunia dan mencapai kehidupan yang lebih baik baginya di masa depan. Hal inilah yang direpresentasikan Andrea dalam Laskar Pelangi lewat tuturan tokoh orangtua Lintang pada kalimat berikut:

"Ayahnya . . . menganggap keputusan menyekolahkan Lintang adalah keputusan yang tepat . . . ia berharap Lintang dapat mengeluarkan mereka dari lingkaran kemiskinan yang telah lama mengikat mereka hingga sulit bernapas."(Laskar Pelangi, halaman 95)

Maksud kalimat ini tentu sangat jelas. Tokoh ayah dan ibu Lintang percaya bahwa dengan menyekolahkan anaknya tersebut, Lintang akan membawa nasib keluarganya menjadi lebih baik di masa depan. Semangat Lintang bersekolah juga digambarkan dengan menempuh perjalanan sejauh empat puluh kilometer dari rumahnya di Tanjong Kelumpang menuju sekolah menggunakan sepeda sejak subuh hari.

Tempat Lintang dan kawan-kawannya bersekolah pun direpresentasikan dengan ideal oleh Andrea. Di sekolah yang mirip `gudang kopra' itu, pendidikan yang diajarkan SD Muhammadiyah tidak semata berdasarkan standar kurikulum nasional, tetapi juga pendidikan moral, budi pekerti dan agama.

Simak kutipan berikutyang merupakan komentar tokoh Ikal mengenai Bu Mus:

`Beliau sendiri yang menyusun silabus pelajaran Budi Pekerti dan mengajarkan kepada kami sejak dini pandangan-pandangan dasar moral, demokrasi, hukum, keadilan, dan hak-hak asasi . . . Kami diajarkan menggali nilai luhur di dalam diri sendiri agar berperilaku baik karena kesadaran pribadi. Materi pelajaran Budi Pekerti yang hanya diajarkan di sekolah Muhammadiyah sama sekali tidak seperti kode perilaku formal yang ada dalam konteks legalitas institusional seperti sapta prasetya atau pedoman-pedoman pengamalan lainnya.'(LP, hal 30-31)

Dari kutipan di atas kita bisa mengambil kesimpulan, bahwa memang kualitas seseorang yang berpendidikan tidak hanya diukur dengan nilai ujian dan angka di rapornya. Pendidikan yang baik mestilah menyeimbangkan pelajaran ilmu pasti dengan tuntunan agama, perilaku moral dan budi pekerti. Dan pendidikan model begini tentu akan mencetak manusia-manusia yang tak hanya encer otaknya, tapi juga memiliki mentalitas yang baik di kepribadiannya.

Kawan-kawan pembaca tentu akan setuju dengan saya bahwa memang begitulah seharusnya pendidikan formal dipraktikkan. Dan Andrea, lewat fiksinya tengah mengimajinasikan sebuah sekolah dengan konsep pendidikan ideal yang sejalan dengan semangat emansipatoris tadi.

Andrea Hirata dan Masalah Pendidikan

Adalah Iwan Simatupang, seorang tokoh sastra angkatan 70 yang menghabiskan hari-hari terakhirnya di kota Bogor, mengatakan demikian: `Pengarang adalah produk kultural tanah airnya. Setiap karyanya, perbuatannya, pemikirannya, secara inhaerent memantulkan kembali pertautan dirinya dengan tanah air' (2004:337)

Dalam kata lain, kehidupan seorang pengarang akan selalu dipengaruhi lingkungan sosial-budaya dan bangsa dimana ia hidup. Sehingga apapun persoalan yang tertuang dalam karyanya kelak, seringkali merupakan hasil refleksi pengetahuan dan pengalaman hidupnya atas lingkungannya.

Maka di sinilah saya hendak menempatkan Andrea sebagai seorang pengarang yang tentu tak lepas dari pengaruh lingkungannya. Khususnya mengenai cara pandang Andrea terhadap permasalahan pendidikan di Indonesia, yang kemudian direpresentasikannya dalam bentuk fiksi lewat Laskar Pelangi.

Di banyak referensi, kita akan menemui keterangan bahwa Andrea memiliki minat terhadap sains dan dunia pendidikan. Alih-alih sebagai novelis, ia mengaku lebih suka mengidentikkan dirinya sebagai seorang akademisi. Maka tak heran bila dalam Laskar Pelangi terdapat banyak kalimat dengan `bumbu-bumbu' ilmiah yang dipadukannya dengan kisah-kisah sederhana nan memikat.

Menyimak halaman persembahan dalam buku Laskar Pelangi yang ditujukannya untuk dua orang guru masa kecilnya (Muslimah Hafsari dan Harfan Effeny Noor), tampak bahwa dua orang ini tak sekedar tokoh fiksi Laskar Pelangi dalam imajinasi Andrea, tapi juga ada dalam pengetahuan dan pengalaman hidup Andrea sebagai pengarang.

Maka bisa ditafsirkan pula bahwa Andrea merupakan anak ideologis hasil pendidikan ideal ala SD Muhammadiyah di Belitong. Tak keliru bila kita paham bahwa pendidikan ideal tersebut memang benar-benar ada di kehidupan nyata, khususnya kehidupan yang dialami Andrea.

Berangkat dari sinilah, saya menemukan fakta mengkhawatirkan tentang wajah pendidikan formal bangsa kita dewasa ini yang kian jauh dari representasi Andrea tentang pendidikan ideal. Alih-alih menjalankan fungsi emansipatorisnya, wajah pendidikan formal yang dipraktikkan bangsa ini adalah wajah yang bertopeng dalam kepura-puraan dan sangat menakutkan.

Matinya Pendidikan Kita

Sebelum kita melanjutkan bahasan berikut, perlu dipahami kawan-kawan pembaca bahwa kata 'mati' yang saya gunakan di sini bukanlah kematian secara fisik, namun ia merupakan metafora yang saya gunakan untuk melukiskan kecenderungan di mana fungsi emansipatoris dalam pendidikan kian menjadi tumpul.

Ketumpulan ini bisa kita lihat dari kecenderungan institusi/ penyelenggara pendidikan di Indonesia kini tengah gencar memproduksi lulusan yang link and match dengan pasar dunia kerja. Sehingga dalam jenjang waktu pendidikan yang singkat, diharapkan para lulusannya bisa memiliki skill praktis dan dengan mudah diserap pasar tenaga kerja.

Jutaan pelajar lulusan sekolah menengah juga kini tengah mengimpi-impikan dapat di fakultas favorit, jenjang kuliah yang singkat,dan setelah lulus mudah mendapatkan pekerjaan. Langkah ini sekilas memang terlihat strategis, mengingat Indonesia hari ini masih dibebani dengan persoalan tingginya angka pengangguran dan kemiskinan.

Namun saya sebut ini sebagai ketumpulan fungsi emansipatoris pendidikan yang kelak akan berujung pada matinya pendidikan, sebab ia membuat kita lupa bahwa sekolah dibangun untuk menguasai dan mengembangkan ilmu pengetahuan, dan bukan sekedar untuk mempermudah manusia mendapatkan gelar, pekerjaan, jabatan di perusahaan atau pun bergaji besar. Maka tak heran pula bahwa biaya yang dibutuhkan seseorang untuk mengenyam pendidikan, tak bisa dibilang murah.

Kini kian jelas bahwa, pendidikan emansipatoris yang tadinya bertujuan membawa manusia keluar dari kungkungan kebodohan dan mencapai budi pekerti yang baik,kini mulai berbelok ke arah yang pragmatis nan materialistis.

Praktik inilah yang telah lama menyusup ke dalam ruang-ruang kelas kita, catatan-catatan pelajaran kita, buku-buku praktikum yang wajib kita baca, hingga menjangkit ke pola pikir kita yang memandangfungsi kegiatan pendidikan bukan lagi sebagai tindakan yang emansipatoris, tetapi terkapitalisasi untuk sekedar mencari duit dan menjadi robot-robot pekerja yang baik.

Sekali lagi saya tekankan betapa konsep pendidikan yang link and match seperti ini sebagai indikasi matinya pendidikan, sebab lahan kerja yang kelak menyerap tenaga kerja berpendidikan bertujuan pada orientasi bisnis perusahaan (baca: kapitalis) semata, dan bukan berorientasi pada perbaikan struktur dan kultural masyarakat Indonesia. Terlebih lagi, pendidikan link and match model begini, menurut hemat penulis akan semakin menghambat mental kepeloporan, kepemimpinan, kemanusiaan, spiritualitas, dan mentalitas-mentalitas generasi muda Indonesia masa depan.

Pendidikan yang seharusnya dibangun berlandaskan nilai-nilai objektivitas, keilmiahan (scientific), dan kebijaksanaan (virtue) sebagai nilai dasar dalam ilmu pengetahuan, kini dimuati oleh nilai-nilai komersial sebagai ajang pencarian keuntungan (profit) semata. Inilah wajah pendidikan kita yang lebih tunduk pada kekuasaan kapital daripada kebenaran ilmiah dan moral kebangsaan.

Penutup

Apa yang terungkap pada uraian di atas memang terasa ganjil, problematis dan ironis bagi kelangsungan generasi muda intelektual kita saat ini yang membutuhkan kejujuran dunia ilmu pengetahuan. Betapa tidak, kita semua –mau tak mau– adalah bagian dari anak-anak peradaban yang terlanjur lahir dalam sebuah pendangkalan, pemassalan dan komersialisme sebagai praktik pendidikan mutakhir bangsa ini.

Drama matinya pendidikan inilah yang saya tangkap dari pengalaman saya ketika membaca Laskar Pelangi. Sungguh-sungguh sebuah drama yang ditutup dengan ironi ketika tokoh Ikal bertemu dengan Lintang pada dua belas tahun kemudian. Lintang dengan kecerdasan mengagumkan seorang anak pesisir miskin, mesti mengujungkan nasibnya sebagai supir truk pasir di Belitong.

Walhasil, membaca Laskar Pelangi juga membawa saya hanyut dalam perasaan yang sama seperti yang tokoh Ikal ucapkan di penghujung novel ini:

`Dan kata-kata itu semakin menghancurkan hatiku, maka sekarang aku marah, aku kecewa pada kenyataan begitu banyak anak pintar yang harus berhenti sekolah karena alasan ekonomi. Aku mengutuki orang-orang bodoh sok pintar yang menyombongkan diri, dan anak-anak orang kaya yang menyia-nyiakan kesempatan pendidikan.' (LP,hal 472)

Maka sebagai penutup, dengan ditulisnya esai ini saya memang tidak sedang mengajukan pemikiran jitu nan tokcer demi mengatasi permasalahan pendidikan tersebut. Esai ini lebih berniat menjadi apresiasi bagi Andrea dan para sastrawan lainnya yang tak hanya lihat dalam berkata-kata, tapi juga peka dengan permasalahan dan kondisi zamannya.

Mungkin juga ini saatnya kita meninggalkan gaya menulis kita yang melulu berkisah tentang pencarian diri, cinta picisan, ataupun seks. Mari menulis seperti Andrea yang menulis novel tak hanya untuk diri sendiri dan sekedar meraih keuntungan materi, namun juga berkarya untuk membangkitkan kesadaran pembacanya akan perkembangan pendidikan di Indonesia.

Matinya pendidikan di Indonesia mungkin baru kita rasakan sebagian kecil saja, tapi jelas bahwa ia patut untuk diwacanakan secara luas. Kecuali pada suatu nanti di masa depan, siap-siap saja kita dengar lonceng kematian ilmu pengetahuan dan praktik pendidikan berkumandang; lonceng kematian yang dikumandangkan sebagai tanda kemenangan pasar atas wafatnya rasionalitas intelektual bangsa ini.

*) Esai `LaskarPelangi, Sebuah Wacana Matinya Pendidikan' disusun oleh Pry S., anggota milis KMB, http://prys3107.blogspot.com/ Esai ini secara khusus dipersembahkan untuk kawan Fienna yang hendak melanjutkan pendidikannya di negeri seberang tahun ini. Terus berjuang dan menulis, kawan! Semoga suatu hari nanti kau pun akan menulis dengan cara yang sama seperti Andrea.

Undangan Bikin Karya Bareng KMB

Komunitas Menulis Bogor mengundang kawan-kawan untuk mengirimkan karya cerpen & puisi
yang nantinya akan diterbitkan sbg buku kumpulan cerpen KMB.

kirim karya kamu dengan syarat sbg berikut:

1) tema bebas dan tidak dibatasi, diutamakan yang mengulas kota bogor
2) karya ditik dalam format ms word, font 12 times new roman, spasi 2, maks 5 hal kwarto
3) karya harus asli karangan sendiri, bukan saduran/ terjemahan/ plagiat
4) karya belum pernah dipublikasikan
5) sertakan biodata singkat penulis dan no telp yang bisa dihubungi
6) batas penerimaan karya pada 15 Nov 2008

segera kirim karya kamu ke sini:
* via e-mail ke kirimcerpen_kmb@yahoo.com atau ruang_melati@yahoo.com (sebagai attachment)
* antar langsung ke toko buku alternatif Jendela di Jl. Cikabuyutan No 6 Baranangsiang Bogor
(samping Botani Square)

undangan ini terbuka untuk umum dan anggota kmb
info lebih lanjut akan diberitahukan secara berkala di milis kmb

cp:
Toko Buku Jendela (0251-8379439)
Ananda (081380488110)
Indri (08562123985)
Pry (0251-9396147)

Foto

Latest Headlines

bagja2000

Subscribe Now: google

Add to Google

FeedBurner FeedCount

Subscribe via email

Enter your email address:

Delivered by FeedBurner