Monday, October 6, 2008

Tanggapan: LASKAR PELANGI, SEBUAH WACANA MATINYA PENDIDIKAN (Oleh: Lawang Bagja)

Tanggapan:
Membaca esai saudara Pry terasa gurih!. Mencermati sisi gelap dunia pendidikan kita yang sudah teracuni oleh materialisme yang salah satu produknya yaitu serba instant dan siap saji! percis seperti junkfood yang digandrungi masyarakat kita. Saya sendiri termasuk kecewa dengan sistem yang sudah terlanjur seperti benang kusut. Namun tak ada waktu lagi untuk meratapi tragedi yang sudah berkarat dalam kehidupan kita.
Program link and match yang dikritisi oleh saudara Pry dipandang sebagai lonceng kematian dunia pendidikan kita Ini justru menjadi sebuah paradoks saat dunia industri membutuhkan angkatan tenaga kerja yang terampil. Dimana dunia pendidikanlah yang harus bertanggungjawab mempersiapkan itu semua. Sementara di lapangan sering ditemukan ketidaksesuaian antara latar belakang pendidikan dan kerja yang dilakoni, belum lagi kegagapan para fresh graduate saat berhadapan dengan dunia kerja. Persoalan lainnya muncul saat dunia pendidikan terasa amat mahal dan sangat tidak adil pada mereka yang miskin. Ditambah lagi saat beban hidup semakin terasa berat dan pendidikan adalah lobang jarum yang bisa menyelamatkan keluar dari problema kehidupan yang ada. Maka munculah produk link and match itu tadi. Agar para orangtua yang sudah pusing dengan beban biaya hidup bisa tertolong oleh putra dan putrinya yang mengikuti jalur ini. Paling tidak kemudahan bekerja bisa diraih agar persoalan hidup satu persatu bisa diatasi.
Saya sangat setuju biang pangkal 'kerusakan ini' semua adalah materialisme yang merasuki sendi-sendi kehidupan kita. Jika Saudara Pry menangkap drama matinya pendidikan dengan membaca karya Andrea, saya pribadi justru merasakannya tanpa mampu mengungkapkan seperti apa yang Andrea utarakan. Saya yakin di belakang Andrea ada berjuta anak manusia yang merasakan ketidakadilan yang sama. Lidah kami sudah kelu. Jari-jari kami tidak terampil mengurai perih kehidupan menjadi sebuah cerita best seller. Ingatan kami sudah bertumpuk oleh problematika yang datang tiap hari. Kami menderita amnesia akut! lupa jika kehidupan kami lebih asin dari garam dan lebih pahit dari biji mahoni!.
Bisa dibayangkan oleh saudara Pry, manusia-manusia yang merasakan ketidakadilan ini akhirnya memendam dendam. Mereka terseok mengarungi pendidikan karena dunia pendidikan sedari dulu memang angkuh dan terkesan tidak peduli dengan kesulitan yang mereka hadapi. Manusia dididik agar ia mampu mengatasi persoalan yang ada. Manusia pintar memang banyak, kemudian apakah negara membutuhkannya?. Semakin banyak yang pintar bukankah kebijakan akan banyak dikritisi?.
Soal esai ini, pertanyaan saya adalah seperti apa sebenarnya hubungan ideal yang harus dibangun antara dunia pendidikan dan dunia nyata (industri)?. Apakah dunia pendidikan kita selama ini sudah konsisten menerapkan 3 value (objektif, ilmiah, kebijaksanaan) pada anak didiknya? Saya tidak tahu dari kapan kita harus mengukurnya? sejak Indonesia merdeka? sepengetahuan saya, negara yang sedang carut marut saat ini hasil karya dunia pendidikan saat itu. Soal Andrea, karyanya memang menghibur bagi kami. Paling tidak, ada teman senasib.
Mungkin saudara Pry bisa menambahkan pembanding kapan dunia pendidikan kita berhasil dan konsisten dengan 3 value tadi. Sekedar berbagi, dulu saya terseok kuliah di AKA Bogor. Setiap praktikum dan di materi kuliah yang dibicarakan hanya bagaimana nanti kita bekerja pada juragan pemilik pabrik. Hampir semua pengajar tak henti mencekoki doktrin 'buruh'. Maka jadilah saya seorang buruh! Semua benar-benar terjangkar dalm alam pikiran saya yang menyempit. Bukan berkarya dengan pengetahuan yang ada justru lebih merasa bahagia saat hanya menjadi buruh bulanan.
Howgh!
salam kenal dari buruhmigrant

No comments:

Foto

Latest Headlines

bagja2000

Subscribe Now: google

Add to Google

FeedBurner FeedCount

Subscribe via email

Enter your email address:

Delivered by FeedBurner